Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Dicoret AS dari Daftar Negara Berkembang, Ini Dampaknya

Kompas.com - 22/02/2020, 11:18 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia dicoret dari daftar negara berkembang oleh pemerintah Amerika Serikat (AS). Kebijakan tersebut dikeluarkan oleh AS pada tanggal 10 Februari 2020 kemarin.

Dampak kebijakan tersebut akan berpengaruh bagi perlakuan berbeda dan spesial dalam hal perdagangan.

Pencoretan tersebut akan berpengaruh pada batasan minimum (de minimis tresholds) untuk marjin subsidi agar penyelidikan bea masuk anti subsidi (BMAS) selesai. Batasan minimum tersebut semakin kecil.

Baca juga: AS Cabut RI dari Daftar Negara Berkembang, Ini Kata Pemerintah

"Marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi sama dengan 1 persen dan bukan sama dengan 2 persen," ujar Direktur Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (21/2/2020).

Meski begitu Indonesia perlu untuk berhati-hati terkait hal tersebut. Pasalnya AS merupakan negara yang paling sering menggunakan instrumen anti-subsidi di dunia.

Berdasarkan data statistik WTO periode 1995 hingga Juni 2019, AS merupakan pengguna instrumen anti-subsidi terbesar di dunia dengan total 254 inisiasi. Dalam kurun waktu tersebut dimana 11 di antaranya ditujukan terhadap produk ekspor Indonesia.

"Dengan total 11 inisiasi tersebut, AS menjadi negara yang paling sering menginisiasi penyelidikan anti-subsidi terhadap produk asal Indonesia," terang Pradnyawati.

Baca juga: Selain RI, 24 Negara Ini Juga Dicabut AS dari Daftar Negara Berkembang

Pengklasifikasian Indonesia sebagai negara maju sampai saat ini hanya diperuntukkan bagi penyelidikan anti-subsidi.

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut juga akan diaplikasikan dalam cakupan yang lebih luas seperti penyelidikan anti-dumping dan safeguard.

Indonesia menyampaikan tanggapan terkait pencabutan tersebut. Keputusan United States Trade Representative (USTR) dinilai tidak berdasar.

Pasalnya standar anggota G20 tidak bisa diklasifikasikan sebagai negara maju mengingat organisasi itu terdiri dari negara maju dan negara berkembang.

Pendapatan per kapita Indonesia juga masih di bawah 12.375 dollar AS. berdasarkan angka tersebut Indonesia masih dikategorikan sebagai lower-middle income economy.

Baca juga: Perang Dagang Bikin Modal Rp 208,1 Triliun Kabur dari Negara Berkembang

Menambahkan hal tersebut, Direktur Perundingan Bilateral Kemdag Ni Made Ayu Marthini bilang pencoretan Indonesia dari negara berkembang tidak akan berpengaruh pada peninjauan Generalized System of Preferences (GSP).

"Tidak (pengaruh), ini beda yang ini untuk kategori trade remedy bukan GSP," jelas Ni Made.

Sebagai informasi, saat ini perundingan terkait keberlanjutan fasilitas GSP sudah masuk tahap akhir. Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menargetkan peninjauan akan rampung bulan ini. (Abdul Basith)

 

Berita ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul: Dicoret dari daftar negara berkembang oleh AS, begini efeknya ke Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Emiten Nikel IFSH Catat Penjualan Rp 170 Miliar di Kuartal I 2024

Emiten Nikel IFSH Catat Penjualan Rp 170 Miliar di Kuartal I 2024

Whats New
Starlink Telah Kantongi Surat Uji Laik Operasi di Indonesia

Starlink Telah Kantongi Surat Uji Laik Operasi di Indonesia

Whats New
Laba Bersih BNI Naik 2,03 Persen Menjadi Rp 5,3 Triliun pada Kuartal I-2024

Laba Bersih BNI Naik 2,03 Persen Menjadi Rp 5,3 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
Bank Mandiri Jaga Suku Bunga Kredit di Tengah Tren Kenaikan Biaya Dana

Bank Mandiri Jaga Suku Bunga Kredit di Tengah Tren Kenaikan Biaya Dana

Whats New
Bukan Dibebaskan Bea Cukai, Denda Impor Sepatu Bola Rp 24,74 Juta Ditanggung DHL

Bukan Dibebaskan Bea Cukai, Denda Impor Sepatu Bola Rp 24,74 Juta Ditanggung DHL

Whats New
Kerja Sama dengan PBM Tangguh Samudera Jaya, Pelindo Optimalkan Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok

Kerja Sama dengan PBM Tangguh Samudera Jaya, Pelindo Optimalkan Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok

Whats New
DANA dan Jalin Sepakati Perluasan Interkoneksi Layanan Keuangan Digital

DANA dan Jalin Sepakati Perluasan Interkoneksi Layanan Keuangan Digital

Whats New
Kredit UMKM Bank DKI Tumbuh 39,18 pada Kuartal I-2024

Kredit UMKM Bank DKI Tumbuh 39,18 pada Kuartal I-2024

Whats New
Penyaluran Kredit Bank Mandiri Capai Rp 1.435 Triliun pada Kuartal I-2024

Penyaluran Kredit Bank Mandiri Capai Rp 1.435 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
Imbas Boikot, KFC Malaysia Tutup Lebih dari 100 Gerai

Imbas Boikot, KFC Malaysia Tutup Lebih dari 100 Gerai

Whats New
Gapki Tagih Janji Prabowo Bentuk Badan Sawit

Gapki Tagih Janji Prabowo Bentuk Badan Sawit

Whats New
Pameran Franchise dan Lisensi Bakal Digelar di Jakarta, Cek Tanggalnya

Pameran Franchise dan Lisensi Bakal Digelar di Jakarta, Cek Tanggalnya

Smartpreneur
Akvindo Tegaskan Tembakau Alternatif Bukan buat Generasi Muda

Akvindo Tegaskan Tembakau Alternatif Bukan buat Generasi Muda

Whats New
Allianz Syariah Bidik Target Pengumpulan Kontribusi Capai 14 Persen Sepanjang 2024

Allianz Syariah Bidik Target Pengumpulan Kontribusi Capai 14 Persen Sepanjang 2024

Whats New
Laba Bersih Astra International Rp 7,46 Triliun pada Kuartal I 2024

Laba Bersih Astra International Rp 7,46 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com