Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan Kasus BLBI Sjamsul Nursalim yang Rugikan Negara Rp 4,5 Triliun

Kompas.com - 09/04/2021, 07:16 WIB
Muhammad Idris

Penulis

 

BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim merupakan salah satu bank yang mendapatkan kucuan uang rakyat tersebut, yakni senilai Rp 47 triliun.

Baca juga: Kekayaan Sjamsul Nursalim, Buron Korupsi BLBI yang Kasusnya Distop KPK

Kucuran dana dilakukan lewat Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA), di mana BPPN mengambil alih saham dan pengelolaan BDNI.

Dalam MSAA tersebut, jumlah utang BDNI kepada pemerintah adalah sebesar Rp 47,2 triliun, dikurangi aset BDNI sebesar Rp 18,85 triliun, termasuk di dalamnya pinjaman (piutang) BDNI kepada petampak udang Dipasena Lampung sebesar Rp 4,8 triliun.

Aset BDNI dalam bentuk piutang ke petambak udang Dipasena tersebut, diklaim Sjamsul Nursalim sebagai aset lancar yang seolah tidak bermasalah.

Dalam investigasi BPPN, ditemukan bahwa aset piutang petambak Dipasena tersebut merupakan kredit macet sehingga Sjamsul Nursalim dianggap melakukan misrepresentasi.

Baca juga: Ini 7 Orang Terkaya Indonesia dari Bisnis Kayu

BPPN kemudian melayangkan surat yang menyatakan Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi dan memintanya untuk menggantinya dengan aset lain untuk membayar utang BLBI, namun Sjamsul Nursalim menolak.

Selain itu, dalam penggunaannya dana BLBI, BDNI melakukan penyimpangan sehingga BPPN mengkategorikannya sebagai bank yang melanggar hukum atau bertransaksi tidak wajar yang menguntungkan pemegang saham.

2003

Dikutip dari Antara, BPPN kemudian menggelar rapat dengan pihak Sjamsul Nursalim yang diwakili istrinya, Itjih Nursalim, guna menyelesaikan masalah piutang petambak Dipasena.

Namun Itjih Nursalim berkukuh bahwa aset tersebut tak bermasalah dan pihaknya tidak melakukan misrepresentasi.

Baca juga: Rekam Jejak Zuhairi Misrawi, Kader PDI-P yang Jadi Komisaris BUMN

2004

Masalah BDNI ini yang kemudian jadi polemik dan kemudian jadi penyelidikan kasus korupsi di kemudian hari, adalah pemerintah saat itu yang mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

Megawati Soekarnoputri sewaktu menjabat presiden, menyetujui pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur penerima BLBI.

SKL tersebut ditandatangani oleh Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung lewat surat nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI yang membuat hak tagih atas petambak udang Dipasena menjadi hilang.

Belakangan karena penerbitan SKL tersebut, Syafruddin kemudian divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan itu memperberat hukuman 13 tahun penjara di tingkat Pengadilan Tipikor.

Baca juga: BI: Kami Beli SBN Jangan Diartikan Bailout atau BLBI

2004

Masih dikutip dari Antara, BPPN kemudian menyerahkan petanggungjawaban aset hak tagih Dipasena kepada Kementerian Keuangan yang kemudian diserahkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).

PPA melakukan penjualan hak tagih piutang Dipasena sebesar Rp 220 miliar, padahal kewajiban atau utang Sjamsul Nursalim yang seharusnya diterima negara adalah sebesar Rp 4,8 triliun.

Selisih kekurangan inilah yang kemudian dianggap sebagai kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.

Baca juga: Daftar 17 Relawan Jokowi di Kursi Komisaris BUMN

2019

Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) Syafruddin sebagai penerbit SKL kemudian dinyatakan bebas alias tidak bersalah. Majelis hakim menilai tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan SKL BLBI.

2021

KPK sempat mengajukan Peninjauan Kembali vonis lepas Syafruddin ke MA pada 17 Desember 2019. Namun, MA menolak upaya hukum luar biasa tersebut pada Juli 2020.

Karena dianggap tidak ada upaya hukum lain, maka KPK memutuskan mengeluarkan penghentian penyidikan (SP3) atas kasus BLBI Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

Baca juga: Tak Terima Bangunannya Digusur Proyek Tol, Tommy Soeharto Gugat Pemerintah RI Rp 56 Miliar

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com