Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Merefleksi Arti Warna dalam Perspektif Pemasaran

Kompas.com - 26/10/2020, 14:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Keni dan Frangky Selamat

MENURUT Bank Dunia, satu dari lima orang Indonesia tergolong kelas menengah. Jika diambil persentase dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 268 juta jiwa, maka jumlah kelas menengah Indonesia adalah sekitar 53,6 juta jiwa.

Menurut versi Kemenkeu, jumlah tersebut merupakan kelas menengah atas dan 120 juta penduduk merupakan aspiring middle class yaitu kelompok yang tidak lagi miskin dan menuju kelas menengah yang lebih mapan.

Pada masa sebelum pandemi, kelas menengah adalah motor penggerak konsumsi rumah tangga yaitu mencapai separuhnya dengan pertumbuhan per tahun mencapai 12 persen sejak tahun 2012.

Baca juga: Gubernur BI: untuk Nilai Tambah, Pemasaran Tak Harus Melalui E-commerce

Jika Indonesia ingin beranjak menjadi negara berpendapatan tinggi, tak ayal lagi kelas menengah harus diperbanyak jumlahnya.

Bagaimana dengan masa pandemi kini? Kelas menengah tetap memegang peran. Namun mereka masih menahan diri untuk membelanjakan uang dan berkecenderungan menyimpannya di bank.

Hal ini tercermin dari kenaikan dana pihak ketiga termasuk valas per Juni 2020 yang tumbuh 8,37 persen year on year dibanding periode yang sama tahun lalu.

Saat ini sejumlah produsen terus berupaya menawarkan produk baru untuk mendongkrak pembelian dari kelas menengah. Mereka meyakini bahwa daya beli kelas menengah masih ada dan perlu dipancing dengan sejumlah penawaran baru.

Penawaran produk baru juga sekaligus untuk memperkuat ekuitas merek. Di tengah krisis ekonomi, pemasar tetap memelihara ekuitas merek, dengan harapan penjualan tetap terjaga dan begitu pemulihan ekonomi tiba, penjualan dapat terdongkrak naik.

Strategi meningkatkan ekuitas merek

Pemasar telah lama meyakini bahwa strategi pemasaran dapat meningkatkan ekuitas merek. Ekuitas merek merupakan persepsi konsumen terhadap nilai dari sebuah produk.

Produk yang memiliki ekuitas merek yang kuat cenderung dapat ditawarkan dengan harga yang lebih tinggi (premium) dibanding produk sejenis dari merek lain.

Baca juga: "Conversation Marketing" ala McDonald's Sarinah

Produk dengan ekuitas merek tinggi juga bisa lebih mudah memperluas pasar dengan penambahan lini produk ataupun dengan melakukan ekspansi ke kategori yang baru, karena memiliki reputasi yang baik di mata konsumen, dan konsumen mempercayai produk tersebut.

Salah satu cara untuk membangun ekuitas merek yang kuat adalah melalui pemilihan warna logo produk/perusahaan yang sesuai dengan identitas merek atau perusahaan tersebut, dan secara konsisten menggunakan identitas warna tersebut di seluruh lini perusahaan, mulai dari warna gedung kantor, warna seragam, tema warna di iklan, sampai warna kemasan dari produk tersebut.

Warna sangat penting karena manusia adalah makhluk visual (visual creatures) yang mengandalkan kemampuan untuk memproses warna ketika memilih makanan, pakaian, sepatu dan sebagainya.

Bahkan, suatu penelitian menilai bahwa manusia memproses data yang dipresentasikan secara visual jauh lebih cepat daripada jenis data lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com